Pembelajaran paling baik terjadi dalam lingkungan yang positif—lingkungan di mana terdapat hubungan dan interaksi interpersonal yang positif, di mana terdapat kenyamanan dan ketertiban, di mana pelajar merasa dihargai, diakui, dihormati, dan divalidasi.
—Barbara McCombs and Jo Sue Whisler, Kelas dan Sekolah yang Berorientasi pada Siswa
Tidak banyak guru yang membantah proposisi bahwa beberapa siswa
Oleh karena itu, yang jadi pertanyaan bukanlah apakah guru sadar akan perbedaan-perbedaan yang ada hampir di setiap kelas atau apakah perbedaan-perbedaan tersebut berdampak pada kesuksesan siswa. Pertanyaan yang mengusik para guru adalah bagaimana cara mengatasi perbedaan-perbedaan itu di kelas yang dipenuhi oleh begitu banyak siswa.
Tujuan menciptakan kelas berdiferensiasi adalah memastikan bahwa ada kesempatan dan dukungan untuk siswa dalam mempelajari pengetahuan dan keterampilan esensial seefektif dan seefisien mungkin. Dengan kata lain, diferensiasi lahir untuk mengakomodasi semua jenis pelajar (siswa) agar bisa sukses secara akademis. Selain itu juga mengakomodasi guru untuk mendukung kesuksesan akademis siswanya dengan cara menyesuaikan pembelajaran yang diberikan berdasarkan setiap siswanya. Pangkal proses “mengakomodasi” pengajaran responsif dan pembelajaran yang berorientasi pada siswa ini adalah terciptanya lingkungan belajar yang memiliki fleksibilitas—dengan kata lain, kelas yang aturan tolok ukurnya adalah fleksibilitas.
Faktanya, kelas yang fleksibel bukan hanya vital bagi pembelajaran diferensiasi saja namun juga pembelajaran pada umumnya. Para ahli mengatakan bahwa ada tiga kategori kelas yang berkenaan dengan pengelolaan kelas: disfungsi, memadai, dan tertib.
Faktanya, para peneliti mengatakan bahwa ada hubungan langsung antara kemampuan guru untuk mengelola serangkaian aktivitas kompleks di kelas dan kemampuannya untuk mengajar materi yang menantang secara intelektual (LePage, Darling-Hammond, & Akar, 2005). Ini karena tugas-tugas yang membutuhkan daya paham dan kemampuan penyelesaian masalah membutuhkan fleksibilitas lebih daripada pembelajaran hafalan. Saat guru takut akan probabilitas yang akan terjadi jika siswa bekerja secara mandiri, dalam kelompok kecil, dengan tugas yang berorientasi pada penyelidikan, atau tempo yang bervariasi, guru sering memilih untuk menggunakan pendekatan pembelajaran yang lebih pasif atau yang sepenuhnya “menyederhanakan” kurikulum. Dalam kasus tersebut, guru menurunkan ekspektasinya terhadap siswa dengan cara menggunakan mode presentasi dan evaluasi yang lebih sederhana sebagai penyeimbang tatanan kelas. Dengan kata lain, dalam kasus tersebut, guru “mengajar secara defensif”.
Baca terjemahan-terjemahan lain dari Buku Leading and Managing A Differentiated Classroom by Carol Ann Tomlinson and Marcia B. Imbeau di sini
Ada beberapa siklus yang sangat disayangkan dan dapat diprediksi yang berasal dari persepsi pendidik bahwa sebagian besar siswa hanya bisa belajar dengan bijak di kelas yang ketat. Salah satu siklus tersebut berasal dari kenyataan bahwa siswa sering berperilaku tidak baik saat tugas yang diberikan kepada mereka terlalu sulit atau terlalu mudah untuk mereka. Guru di kelas disfungsi dan kelas memadai, sekaligus orang-orang yang mempercayai kelas model ketat, akan tetap memberikan siswa tugas yang kurang cocok untuk beberapa siswa (karena diferensiasi membutuhkan fleksibilitas dan fleksibilitas mengancam ketertiban di kelas ketat). Alhasil, beberapa siswa terus-menerus merasa frustasi (dan terlihat jelas oleh guru) yang selanjutnya malah memperkuat persepsi guru bahwa “melonggarkan struktur kelas” hanya akan membawa bencana besar. Kesimpulan ini tentu saja hanya memperparah rasa frustasi para siswa.
Siklus kedua yang sangat disayangkan adalah buntut dari praktik tracking (pengelompokan sistematis siswa dalam kelas berdasarkan prestasi mereka masing-masing) yang diterapkan di banyak sekolah kita. Mudah bagi pendidik untuk menyangkutpautkan perilaku siswa dengan kemampuan akademis mereka. Sayangnya, siswa yang berperilaku tidak baik jarang terlihat cerdas (bahkan jika mereka sebenarnya memang cerdas). Banyak guru yang menjadi terbiasa memisahkan siswa berdasarkan “kemampuan” mereka dan kemudian mengajari mereka dalam berbagai jalur yang sesuai dengan “yang bisa mereka tangani”. Siswa yang merasa frustasi dengan ketidakcocokan ini dan siswa yang diduga terlihat frustasi akibatnya sering dikelompokkan ke dalam kelas dengan berjalur rendah (ditandai dengan penerapan kurikulum tingkat rendah) yang model kelasnya antara kelas model sangat ketat atau model campuran antara disfungsi atau memadai dari segi pengelolaannya. Sebaliknya, siswa yang mematuhi arahan guru lebih cenderung terlihat cerdas dan mereka diajar di lingkungan yang tertib dan fleksibel—yaitu kelas yang menitikberatkan pada daya paham siswa dan kelas di mana guru siap menerapkan berbagai strategi pembelajaran untuk melibatkan siswa dengan ide dan keterampilan vital (Carbonaro & Gamoran, 2002; Gamoran et al., 1995; Haberman, 1991; Hodges, 2001).
Diferensiasi menganjurkan bahwa setiap siswa diajar sebagai individu yang layak dan individu yang mampu menangani kurikulum yang kaya makna. Diferensiasi juga menganjurkan lingkungan belajar di mana setiap siswa bisa memahami, mengakui, dan menghargai kapasitas mereka sebagai pelajar. Untuk mewujudkannya, dibutuhkan lingkungan kelas yang tertib dan fleksibel. Bab ini akan fokus pada beberapa elemen, pedoman, dan strategi penting yang mampu menciptakan lingkungan yang seperti itu.
Membuat drama yang sukses
Pikirkarlah sebentar mengenai pertunjukkan panggung dan peran sutradara hebat. Tak pelak lagi, sutradara sukses tidak sekadar membeli naskah dari penulis, menyerahkan naskah tersebut pada pemeran drama, memberikan beberapa arahan, dan mengharapkan hasil yang luar biasa. Faktanya, alasan di balik drama yang “sukses” berasal dari lingkungan sekitar daripada dari naskah. Sepanjang drama, sutradara sukses harus menciptakan lingkungan yang afektif dan lingkungan fisik (atmosfer) di lokasi dramanya akan berlangsung.
Dalam rangka membuat drama yang cocok untuk penonton, sutradara juga harus mencocokkan dramanya dengan para pemeran. Pertama, sutradara harus mengenal dan memahami setiap pemeran drama secara individu—kelebihan dan kelemahan mereka, preferensi cara bekerja, dan pengalaman hidup. Pada aspek inilah sutradara akan mendapatkan jawaban dari hal-hal tersebut saat latihan berlangsung. Untuk mempersiapkannya, sutradara kemungkinan akan “menyelidiki” latar belakang pemeran sebelum latihan berlangsung. Ini kemudian akan diikuti dengan memulai percakapan dengan yang bersangkutan sepanjang latihan serta pengamatan dan pemikiran yang cermat untuk memahami apa yang membuat pemeran tersebut bersinar saat memainkan karakternya dalam beberapa kasus dan apa yang membuat pemeran tersebut sulit mendalami karakternya dalam kasus lain.
Selain mengenal dan memahami para pemeran secara pribadi, sutradara perlu membantu mereka beralih dari sekumpulan individu menjadi rombongan pemeran drama, grup, ensambel, persekutuan—tim. Mereka perlu dipersatukan melalui usaha bersama yang dipahami secara umum tanpa kehilangan kekhasan masing-masing. Dengan kata lain, sutradara harus membantu menumbuhkan rasa kebersamaan di antara para pemeran agar tim bisa bekerja dengan kohesif untuk memberi manfaat pada perkembangan individu dan bersama. Jika sutradara berhasil mewujudkannya, maka para pemeran akan memiliki ikatan yang berharga sepanjang masa produksi drama. Mereka akan belajar bekerja sama, membantu satu sama lain, menutupi kekurangan masing-masing, dan pada akhirnya meninggalkan satu sama lain dengan rasa syukur dan rasa sedih. Setiap individu akan menjadi lebih kuat karena adanya tim. Oleh karena itu, sutradara mulai membentuk ensambel dari individu yang berbeda saat para pemeran tiba pada hari pertama—atau sebelumnya. Ini akan terus berlanjut hingga tirai terakhir diturunkan.
Akhirnya, dalam rangka menciptakan lingkungan di mana para pemeran bisa berkembang, sutradara harus menciptakan konteks fisik (lingkungan fisik di mana dramanya berlangsung) untuk drama tersebut. Dalam dunia teater ini disebut set—sebuah dunia miniatur yang dirancang di atas sebidang tanah kecil bernama panggung. Ini berisi apa saja yang diperlukan untuk membuat dramanya menjadi hidup dan meningkatkan perfoma para pemeran. Semua/segala sesuatu yang berada di set panggung memiliki tujuan. Dari flat (alat yang digunakan untuk mendesain panggung drama untuk menambahkan visualisasi latar, mis., pemandangan dan pohon yang terbuat dari kertas) hingga properti, semuanya memberikan kontribusi pada kelangsungan drama. Bentuk, warna, desain, tekstur, dan lokasi adalah elemen yang merepresentasikan drama dan menghidupkan akting pemeran. Saat set panggung siap, hampir tidak ada yang namanya selesai. Perubahan hampir selalu dilakukan hingga malam pembukaan, dan sering kali terus berlanjut sepanjang pertujukan berlangsung.
Peran guru dalam menciptakan lingkungan kelas yang efektif sangat mirip dengan peran sutradara. Dramanya tentu saja sangat menarik—interaksi antara banyak individu dengan ide dan keterampilan yang akan mengubah mereka menjadi makin baik atau makin buruk. Hal ini membutuhkan risiko, upaya keras, kegagalan, kesadaran diri, kejujuran, kemenangan kecil, dan kemenangan besar. Untuk menyukseskan dramanya, guru harus bekerja dengan cepat untuk mengenal para pemeran dan secara persisten memahami mereka. Guru harus memulai lebih awal untuk membentuk tim dari sekelompok individu yang berbeda dan melanjutkan proses pembentukan tim sepanjang drama berjalan. Di sebidang tanah kecil bernama kelas, guru harus menyediakan set panggung di mana para pemeran bisa membuat dramanya menarik. Sisa bab ini akan membahas tiga elemen ini: mengenal siswa, membentuk komunitas, dan merancang lingkungn fisik kelas (lingkungan yang memberi peluang gerak dan segala aspek yang berhubungan dengan upaya penyegaran pikiran bagi siswa setelah mengikuti proses pembelajaran yang sangat membosankan, meliputi sarana dan prasarana pembelajaran yang dimiliki sekolah seperti lampu, ventilasi, bangku, dan tempat duduk, dll. yang sesuai untuk siswa).
Mengenal siswa
Upaya penyelidikan awal yang persisten mengenai informasi tentang siswa setidaknya memiliki empat manfaat:
Guru menggunakan beragam strategi untuk mengenal siswanya saat tahun ajaran dimulai dan terus mempelajari mereka seiring berjalannya tahun. Pertimbangkan contoh berikut:
*Lihat Gambar 4.1 di sini
Gambar 4.2 menyajikan beberapa cara tambahan untuk mengenal siswa, dan Perangkat Guru di bagian belakang buku ini menyediakan contoh tambahan. Tujuan dari setiap strategi ini adalah membantu guru mengajar siswanya dengan lebih baik melalui pemahaman mendalam tentang individu yang dia ajar. Guru yang berkeinginan mengenal siswanya dengan baik menerapkan berbagai strategi sepanjang tahun ajaran untuk mencapai tujuan itu.
Inti dari proses mengenal siswa dalam kelas berdiferensiasi adalah pelaksanaan asesmen secara berkelanjutan. Ada baiknya mengingat beberapa poin penting, termasuk yang berikut ini:
*Lihat Gambar 4.2 di sini
Prinsip dasar diferensiasi adalah guru yang cerdas tidak sekadar menganggap dirinya sebagai guru yang tugasnya hanya menyampaikan materi kepada siswa. Benar, guru memang berkomitmen mengajarkan materi kepada siswa, namun guru juga merupakan siswa yang berdedikasi—siswa yang mempelajari materi yang dia ajar dan siswa yang mempelajari siswanya sendiri. Guru ini percaya bahwa mengajar tidak akan lengkap jika tidak ada pembelajaran yang terjadi dan bahwa pembelajaran didasarkan pada pemahaman guru secara menyeluruh baik tentang materi maupun siswanya.
Membentuk komunitas di kelas
Komunitas adalah orang-orang yang berkumpul bersama karena adanya kesempatan untuk menemukan, mengenali, mengapresiasi, dan menjangkau hal yang sama (Greene, 2000). Dalam kelas berdiferensiasi, guru menuntun siswa untuk menyusun visi bersama tentang kelas yang memungkinkan semua orang dan individu berkomitmen untuk mendukung satu sama lain dalam pembelajaran.
Menjadi bagian dari komunitas memenuhi kebutuhan dasar manusia tentang rasa saling menerima, rasa saling memiliki, afinitas, rasa saling menghormati, dan kepedulian. Ini meyakinkan kita bahwa kita tidak hanya bisa bermanfaat untuk diri kita sendiri namun juga untuk orang lain. Bagi siswa yang berasal dari budaya kolektivisme, menjadi bagian dari sebuah komunitas adalah dasar dari berjalannya dunia ini dan merasakan rasa kekeluargaan di kelas merupakan sesuatu yang normal bagi mereka (karena terbiasa dengan budaya kolektivisme) dan memberikan rasa aman (Rothstein-Fisch & Trumbull, 2008).
Tentu saja tidak semua komunitas bersifat positif. Geng dan kultus merupakan contoh dari komunitas yang bersifat negatif, namun mereka masih memperlihatkan kebutuhan dasar yang diperlukan untuk menjadi bagian dari sebuah kelompok tertentu yang terdiri dari orang-orang yang sepemikiran yang memiliki misi yang sama serta memberikan identitas dan sistem pendukung kepada satu sama lain.
Guru yang menuntun siswa menyusun visi bersama tentang kelas berdiferensiasi membayangkan sesuatu seperti kelas demokratis seperti yang dijelaskan oleh James Beane (2005). Dalam kelas itu, perbedaan siswa bukanlah masalah yang harus diatasi dan siswa tidak dipisahkan menurut perbedaan mereka, dan keseragaman tidak bersifat wajib. Guru dalam kelas ini kemudian mengisyaratkan bahwa keragaman adalah kekuatan yang menuntun pada komunitas yang benar-benar demokratis di mana para anak muda belajar untuk hidup dan bekerja sama.
Bane mengingatkan bahwa inti dari demokrasi adalah prinsip-prinsip bahwa orang (1) memiliki hak dasar atas martabat manusia; (2) bertanggung jawab untuk peduli terhadap kebaikan bersama; (3) bisa melihat bahwa takdir mereka berkaitan dengan kebaikan kelompok secara keseluruhan; dan (4) memiliki kapabilitas intelektual dan sosial untuk bekerja sama menyelesaikan masalah yang muncul. Ini merupakan visi yang berwawasan tinggi—dan visi ini menjadi dasar aspirasi Amerika Serikat sebagai sebuah bangsa. Menerapkannya tidaklah mudah, namun ini penting. Di dalam kelas, seperti halnya dalam sebuah bangsa, visi ini menantang dan menginspirasi kita untuk memperbaiki diri.
Bagi siswa, aspirasi-aspirasi ini umumnya menjawab ekspektasi guru yang tinggi. Bergulat dengan tujuan ini akan mempersiapkan siswa untuk menghadapi dunia luar dan mengharuskan mereka untuk mempertanggungjawabkan pemikiran dan tindakan mereka—baik dalam pekerjaan mereka sendiri maupun bagian dari sebuah kelompok. Dengan demikian, menjadi bagian dari komunitas yang sehat di kelas berdiferensiasi memenuhi kebutuhan dasar manusia akan afinitas dengan kelompok yang alhasil mengarahkan pada tujuan realisasi diri dan kontibusi untuk kebaikan bersama yang lebih tinggi.
Bagi guru, menuntun siswa untuk membentuk komunitas kelas yang kuat bisa memperdalam pengajarannya. Hal ini juga meningkatkan motivasi, kesadaran diri, dan tanggung jawab pelajar. Pada akhirnya, ini juga memberikan sistem pendukung yang bisa membantu guru mengawasi dan mempertahankan efektivitas keberlangsungan kelas yang dirancang untuk berjalan secara fleksibel dan memaksimalkan perkembangan setiap siswa.
Membentuk komunitas
Menuntun siswa menciptakan rasa kebersamaan yang positif tentunya berkaitan erat dengan mengenal siswa. Saat guru menunjukkan ketertarikannya untuk mengenal siswa secara pribadi dan memperlakukan mereka dengan hormat, orang lain akan memerhatikan. Ini semakin jelas bahwa di kelas guru tersebut, semua orang dihargai dan ada kesempatan bagi semua siswa untuk mengenal satu sama lain. Kelas tersebut juga dilibatkan dalam percakapan tentang menciptakan lingkungan di mana setiap orang dihargai dan di mana perkembangan setiap orang bersifat sangat penting. Saat percakapan berlangsung, guru terus merujuk kembali pada alasan awal tentang penciptaan kelas yang responsif bagi semua siswa—semua siswa berharga. Yang sering kali tersirat (namun terkadang eksplisit) dalam percakapan ini adalah “Inilah kita. Ini yang kita lakukan”. Akibatnya, kelompok menjadi lebih beridentitas dan siswa akhirnya memahami satu sama lain dengan lebih baik, menyadari bahwa ide-ide mereka diterapkan, dan bekerja sama dengan efektivitas yang kian meningkat. Pada akhirnya, terbentuklah sebuah komunitas.
Seperti halnya perihal mengenal siswa, ada banyak cara untuk memberikan kontribusi pada pembentukan komunitas sekolah di mana individu memiliki minat dan tujuan yang sama. Pertimbangkan contoh kelas berikut ini:
Guru menciptakan strateginya sendiri untuk mengenali dan memperjelas tujuan spesifik yang dia ingin kelasnya miliki. Untuk mewujudkannya, strategi tersebut tidak hanya memperjelas persoalan paling penting di kelas namun juga membantu siswa berbaur bersama melalui ide-ide penting tersebut. Strategi-strategi tersebut tidak mengindikasikan bahwa komunitas adalah pengganti materi, namun komunitas sebagai sarana untuk mengantarkan siswa ke proses pembelajaran. Gambar 4.3 dan Perangkat Guru berisi lebih banyak contoh metode yang bisa digunakan guru untuk membentuk komunitas kelas yang lebih positif.
Memanfaatkan kelompok siswa dan komunitas sekolah
Dalam kelas berdiferensiasi, penggunaan kelompok siswa merupakan bagian integral dari terciptanya komunitas yang produktif dan positif, namun itu bukan hanya satu-satunya persyaratan. Faktanya, kelas berdiferensiasi yang efektif pasti akan mengharuskan siswa untuk bekerja secara mandiri atau dalam diskusi bersama dengan seisi kelas. Setidaknya secara teoritis, ini mungkin bertujuan untuk membedakan siswa tanpa harus meminta siswa bekerja dalam kelompok kecil.
*Lihat Gambar 4.3 di sini
Saat kelompok siswa berfungsi secara efektif, mereka akan sangat memotivasi siswa. Mereka akan memberikan kesempatan bagi siswa untuk saling berbagi ide, mendapatkan masukan, menemukan cara alternatif untuk menghadapi masalah atau tugas, dan mendapatkan dukungan. Bagi kebanyakan siswa, ini merupakan awal dari pembelajaran yang sukses. Kelompok juga membuat kelas menjadi lebih efisien untuk para guru yang bisa, misalnya, fokus pada lima atau enam kelompok daripada 30 individu. Di bab 6, kita akan mempertimbangkan prosedur-prosedur untuk membantu siswa bekerja dengan efektif dalam kelompok. Namun di sini kita akan menyoroti beberapa prinsip pengelompokan yang efektif yang menunjang keyakinan dan penerapan diferensiasi.
Gunakan pengelompokan yang fleksibel. Aspek yang tidak luput dari diferensiasi yang efektif adalah bahwa guru merencanakan alur yang konsisten dari berbagai pengelompokan siswa dalam suatu unit studi berdasarkan jenis pekerjaan dan kebutuhan individu siswa. Ini memungkinkan siswa untuk membayangkan diri mereka sendiri dan satu sama lain berkutat dalam berbagai konteks pembelajaran dan ini memberikan guru kesempatan untuk mengamati setiap siswa dalam berbagai konteks. Misalnya, Benjamin mungkin dijadwalkan untuk bekerja selama empat jam bersama dengan temannya yang memiliki tingkat kesiapan dan kebutuhan keterampilan yang sama minggu ini. Namun, rencana guru untuk kelompok literasi selama seminggu juga harus, misalnya, mencakup kesempatan bagi Benjamin untuk berbagi beberapa bacaan dengan siswa yang memiliki minat yang sama terlepas dari kebutuhan kesiapan mereka, bekerja sama dengan kelompok siswa lain yang memilih mengekspresikan apa yang mereka pelajari dalam format tertentu, bekerja secara mandiri, dan bekerja sama dengan siswa pilihan mereka sendiri untuk mendiskusikan materi kelas. Siswa bekerja dan belajar dengan cara yang berbeda dan dalam situasi yang berbeda; mereka berhak mendapatkan kesempatan untuk bekerja sama dengan berbagai kelompok teman secara teratur dan konsisten agar mereka bisa memandang diri mereka (dan dipandang orang lain) sebagai pelajar multidimensi.
Teach up (mengajar dengan kurikulum tingkat tinggi dan kemudian mencari cara untuk mengusahakan siswa sampai ke tingkat itu). Rancang tugas kelompok untuk memastikan bahwa setiap siswa bekerja/belajar dengan kurikulum yang kaya dan harus memikirkan dan menerapkan ide dan keterampilan penting. Kadang-kadang, siswa atau kelompok akan membutuhkan waktu untuk mempraktikkan keterampilan diskret mereka, namun tidak boleh ada kelompok siswa yang secara konsisten mempraktikkan keterampilan mereka di luar konteks saat tugas kelompok lain adalah menjadikan siswa sebagai pemikir, pemecah masalah, dan pencipta. Mulai dengan merencanakan tugas yang bisa menantang pelajar tingkat lanjutan dan kemudian berikanlah dukungan belajar secara terstruktur (scaffolding) sesuai kebutuhan untuk siswa yang kurang mahir. Mengajar dengan cara ini merupakan indikator dari guru yang memiliki pola pikir berkembang dan ini akan menguntungkan hampir semua pelajar.
*Maksud untuk kalimat yang bergaris bawah: tidak boleh ada siswa yang mempraktikkan skills yang di luar keterampilan diskret sebagai pemikir, pemecah masalah, dan kreator/pencipta. Jadi fokusnya ke keterampilan yang dibutuhkan untuk membuat siswa menjadi pemikir, pemecah masalah dan kreator
Gunakan tugas kemampuan ganda. Tugas yang seperti itu memiliki lebih dari satu jawaban atau cara penyelesaian, pada hakikatnya menarik dan bermanfaat untuk berbagai siswa, memungkinkan siswa yang berbeda untuk memberikan kontribusi yang berbeda terhadap kesuksesan penyelesaian tugas, dan membutuhkan berbagai keterampilan dan tenaga untuk menyelesaikannya (Cohen, 1994). Tugas kemampuan ganda sering kali menggunakan berbagai media karena sangat relevan untuk siswa, akses yang tugas ini berikan untuk mempelajari konten penting, dan kesempatan yang tugas ini berikan pada siswa untuk mengekspresikan pembelajaran. Tugas-tugas tersebut juga menekankan pentingnya membaca dan menulis terhadap kesuksesan siswa.
Tetapkan peran individu dalam kelompok. Peran individu memastikan bahwa setiap siswa memiliki kontribusi akademis atau intelektual yang sangat penting yang harus mereka berikan pada tugas. Misalnya, jika satu siswa dalam kelompok ditunjuk sebagai pembaca dan satunya lagi sebagai pencatat waktu, ini jelas menunjukkan pada siswa bahwa peran pembaca lebih “berarti” daripada peran pencatat waktu. Di sisi lain, jika satu siswa diharapkan untuk menggambar bagan langkah-langkah yang diperlukan untuk memecahkan soal matematika dan yang lain diharapkan untuk menulis prosa arah untuk menyelesaikannya, maka setiap siswa akan memberikan kontribusi yang sama untuk tugas “menunjukkan apa yang harus diketahui, dipahami, dan bisa dilakukan oleh siswa yang tidak hadir pada minggu ini agar mereka merasa kompeten dengan jenis soal matematika yang kita utamakan minggu ini”. Kelompok yang hanya beberapa anggotanya saja yang memiliki kompetensi yang penting terhadap kesuksesan siswa akan membuahkan sistem kasta (ada label pemenang dan ada label yang kalah) daripada berkontribusi pada keyakinan atau rasa komunitas yang ada di kelas (rasa persatuan komunitas di kelas).
*Maksud untuk kalimat yang bergaris bawah 1: peran siswa kurang imbang (bukan contoh yang seharusnya), yang satunya jadi pembaca sedangkan pasangannya “hanya” jadi pencatat waktu, jadi seperti menunjukkan kalua peran yang banyak kontribusi ke tugas kelompoknya itu hanya peran pembacanya saja
*Maksud untuk kalimat yang bergaris bawah 2: merupakan contoh yang baik karena kebalikan dari yang pertama tadi. Di sini peranan siswa equal. Peran mereka bisa menunjukkan “apa yang seharusnya mereka ketahui, fahami, bisa lakukan”. Jadi kontribusi keduanya sama, tidak seperti yang pertama tadi dimana siswa satunya hanya jadi pencatat waktu, saat pasangannya sedang membaca
*Maksud untuk kalimat yang bergaris bawah 3: rasa komunitas adalah perasaan memiliki akan komunitas dan perasaan berharga dalam suatu komunitas, sehingga timbul keyakinan untuk bersama dalam komunitas
Pastikan konten bisa diakses oleh semua orang. Dalam kelompok siswa dengan tingkat kesiapan belajar campuran, pastikan bahwa materi bentuk tertulis bisa diakses oleh semua anggota kelompok. EELs (English Language Learners), misalnya, harus memiliki metode yang layak untuk menjembatani dua bahasa. Ingat bahwa siswa tidak akan bisa berkembang secara akademis jika tugas yang mereka dapatkan terlalu sulit atau terlalu mudah untuk mereka, dan bukan hal yang tepat dan efektif untuk mendasarkan tugas siswa pada materi yang tidak bisa mereka baca. Untuk mengatasi tingkat membaca siswa yang bervariasi dalam kelompok siswa dengan tingkat kesiapan belajar campuran, Anda bisa menunjuk satu siswa dalam kelompok sebagai “pembaca”, teks atau arahan bisa dicatat, atau siswa bisa membaca materi dengan tingkat kerumitan yang berbeda dan kemudian bersama-sama mengerjakan tugas kelompok.
Tentukan kemampuan siswa. Amati siswa dengan cermat, catat kelebihan, keterampilan, dan wawasan tertentu yang siswa kerahkan dalam tugas kelompok. Saat Anda melihat kontribusi yang pantas dan tulus, komentari kontribusi tersebut. Misalnya dengan berkata, “Saya rasa pertanyaan yang baru saja diajukan Sherisa sangat penting. Pertanyaan tersebut membuat kita merenungkan kembali cara berpikir yang kita adopsi sebagai kelompok. Kemampuan untuk mengajukan pertanyaan menantang pada waktu yang tepat merupakan keterampilan yang sangat berguna.”. Penting bagi semua siswa untuk menerima dukungan atau dorongan emosional semacam ini, namun sangat penting lagi terutama bagi siswa yang tampak memiliki performa lebih rendah dibandingkan teman sebaya mereka untuk mendengar—dan bagi teman sebaya mereka untuk mendengar—komentar semacam itu dari guru saat benar-benar diperlukan.
Pelaksanaan kerja kelompok pembelajaran yang efektif menguntungkan siswa dalam hal perkembangan akdemik mereka. Ini juga berkontribusi menumbuhkan rasa komunitas kelas saat siswa secara konsisten memiliki kesempatan untuk bekerja sama dengan berbagai teman sekelas di berbagai tugas yang dirancang untuk memastikan bahwa semua anggota kelompok menjadi kontributor penting dalam tugas kelompok yang diberikan.
Merancang lingkungan fisik untuk menunjang pembelajaran
Seperti halnya dengan semua elemen kelas lainnya, tujuan perancangan lingkungan fisik kelas adalah untuk memaksimalkan kesempatan belajar mengajar. Untuk itu, lingkungan fisik di kelas berdiferensiasi harus memiliki struktur dan prediktabilitas yang dibutuhkan siswa agar merasa aman. Selain itu, lingkungan fisik juga harus memungkinkan fleksibilitas untuk memenuhi baik kebutuhan kelompok maupun individu dalam konteks kurikulum yang kaya dan berorientasi pada makna.
Mirip dengan orang yang direpresentasikan oleh baju atau kebersihan diri mereka, lingkungan kelas juga menunjukkan seperti apa kelas itu. Lingkungan kelas juga menjelaskan secara subtil, atau tidak begitu subtil, tentang sifat dan filosofi guru, tingkat pengelolaan kelas yang mungkin menggambarkan kelas, dan perhatian guru terhadap siswa dan kesuksesan mereka.
Kita akan secara singkat membahas tiga elemen yang harus dipertimbangkan guru dengan cermat saat mereka menata kelas. Keputusan dari setiap elemen bisa memberikan kontribusi atau malah mengurangi fokus pembelajaran. Kelas tidak harus bersifat “eksklusif” untuk bisa bijak, terorganisasi, dan fleksibel; juga tidak harus bersifat “eksklusif” untuk bisa menyampaikan kesungguhannya—yang dianggap guru sebagai kesuksesan setiap siswa.
Seperti yang sudah dijelaskan, kelas berdiferensiasi berorientasi pada siswa. Oleh karena itu, kelas ini memberikan ekspektasi bahwa siswa akan
Selanjutnya, kelas berdiferensiasi memberikan ekspektasi bahwa guru akan
Tata letak furnitur dan denah lantai
Kita bisa membuat beberapa keputusan tentang tata letak furnitur dan denah lantai kelas yang secara langsung menunjang ekspektasi siswa dan guru di atas. Dua pertanyaan berguna yang harus diajukan guru saat guru mempertimbangkan tata letak furnitur dan denah lantai adalah (1) Apa saja opsi yang tersedia untuk saya? dan (2) Mana dari opsi saya yang paling sesuai dengan tujuan yang saya miliki untuk diri saya dan siswa saya? Berikut adalah beberapa panduan yang bisa diikuti saat Anda mempertimbangkan furnitur dan denah lantai kelas Anda.
*Maksud untuk kalimat yang bergaris bawah: deretan meja tulis yang konvensional (kelas pada umumnya), jadi situasinya seperti kelas belajar mengajar (guru menjelaskan dan siswa mendengarkan) daripada situasi siswa berbicara dan mendengarkan satu sama lain (misalnya deretan mejanya dibuat hadap hadapan/saling tatap muka seperti bentuk dua setengah lingkaran)
Dinding dan papan buletin
Elemen-elemen lingkungan ini memiliki tujuan ganda. Keduanya bisa membuat kelas menjadi lebih baik dan juga bisa berkontribusi besar terbadap kemandirian dan kesuksesan pelajar. Citra kelas umumnya cenderung berupa dinding kosong dan papan buletin yang penuh dengan potongan gambar yang didapat dari guru—yang tentunya tidak banyak membantu kesuksesan siswa atau membuat kelas tampak lebih berorientasi pada pelajar. Pertimbangkan saran-saran berikut ini saat kalian mempertimbangkan ruang dinding dan papan buletin di kelas.
*Lihat Gambar 4.4 di sini (Contoh Kartu Petunjuk)
*Maksud untuk kalimat yang bergaris bawah: proses pengisian informasi di papannya tidak membutuhkan waktu yang lama karena sebelumnya sudah diberikan templat untuk diisi siswa (siswa yang mengisi sendiri, guru memberikan templat “Inilah Orang Yang”)
Bahan, persediaan, dan rak kontainer/wadah
Sama halnya seperti penggunaan furnitur, area lantai dan dinding sangat penting untuk mempermudah kesuksesan pelajar dan menunjang fleksibilitas di kelas, perencanaan penempatan bahan, persediaan, dan elemen pengorganisasian yang cermat juga bisa membantu mencapai tujuan ini. Ide pokoknya adalah untuk memberikan siswa akses ke apa pun yang mereka butuhkan saat mereka bekerja dengan cara memaksimalkan efisiensi dan meminimalkan gangguan. Dengan merancang elemen-elemen ini sebelumnya sekaligus mempertimbangkan kesuksesan siswa, guru memberikan kontribusi pada pemahaman setiap siswa tentang kompetensi individu dan kelompok. Pertimbangkan saran-saran berikut ini saat Anda memikirkan bahan, persediaan, dan rak kontainer/wadah di kelas.
*Lihat Gambar 4.5 di sini
Penetapan penggunaan furnitur, denah lantai, area dinding, papan buletin, bahan, persediaan, dan rak kontainer kelas akan sedikit berbeda antar kelas, mata pelajaran, dan sekolah, serta dengan rasa percaya diri guru. Akan tetapi, masalah ini tidak hanya bersangkutan dengan kelas yang lebih rendah. Dari prasekolah hingga SMA, guru yang paling efektif adalah guru yang dengan bijaksana memanfaatkan setiap sumber daya yang dia miliki untuk memaksimalkan efisiensi dan efektivitasnya sendiri—dan juga siswanya. Di Bab 5 dan 6, kita akan membahas cara-cara di mana rutinitas kelas memungkinkan fleksibilitas dan memperluas pertumbuhan akademik. Bab 5 akan membahas rutinitas yang bisa mempersiapkan siswa untuk belajar di kelas berdiferensiasi dan Bab 6 akan membahas rutinitas penting setelah siswa mulai belajar di kelas berdiferensiasi.
(Bagus Priambodo/Sumber terjemahan: Chapter 4– Leading and Managing A Differentiated Classroom – Learning Environment: Setting the Stage for Academic Success by Carol Ann Tomlinson and Marcia B. Imbeau/Foto atau ilustrasi dipenuhi dari Google Image)