Komentar yang sering dilontarkan para guru saat dalam tahap pertimbangan awal untuk menerapkan diferensiasi adalah “Siswa saya akan kecewa jika mereka mendapati temannya memiliki buku atau melakukan kegiatan yang berbeda dari yang mereka lakukan saat pembelajaran”. Menariknya, isu ini hampir tidak pernah dibahas oleh guru-guru yang merupakan praktisi diferensiasi. Mengapa?
Kemungkinan terbesarnya adalah guru yang pertama mengadopsi sistem keyakinan belajar mengajar pada umumnya—dan demikian juga siswa-siswanya. Di antara paham-paham dalam kepercayaan itu, ada kurikulum umum yang berlaku untuk semua orang, oleh karena itu muncullah pembelajaran yang “benar” atau “standar” yang harus diikuti oleh semua siswa di kelas untuk memastikan pencakupan materi secara terorganisir. Menurut paradigma itu, seorang guru yang baik akan memastikan bahwa semua siswa melakukan hal yang sama persis dalam pembelajaran yang diberikan dan menggunakan seperangkat materi, tempo, dan sistem pendukung yang sudah standar. Cara ini tidak hanya merupakan cara yang paling benar untuk “bersekolah” namun juga yang paling “adil”. Oleh karena itu, guru yang memperlakukan satu atau beberapa siswanya dengan berbeda beresiko dicap tidak adil.
Guru kedua mengadopsi sistem keyakinan yang berbeda. Guru ini percaya bahwa ada seperangkat materi penting yang harus dipelajari setiap siswa dan tugasnya sebagai guru adalah untuk memastikan bahwa setiap siswa memiliki kesempatan untuk menguasai, dan jika memungkinkan, melampaui cakupan materi tersebut. Menurut paradigma ini, siswa memiliki titik awal yang bervariasi dalam setiap segmen pembelajaran, mendapatkan pengalaman berbeda di mana mereka bisa terhubung dengan pembelajaran baru, belajar dengan tempo yang berbeda, memproses informasi dengan berbagai cara, dan memerlukan sistem pendukung yang berbeda dalam menguasai materi penting. Dengan demikian, sementara guru kedua ini berkomitmen memastikan bahwa setiap siswa bisa sukses dengan hasil belajar yang telah ditentukan, dia juga menyadari perlunya menyediakan berbagai macam cara untuk siswa agar bisa mengakses informasi, berbagai opsi untuk memproses informasi, serangkaian sistem pendukung, dan berbagai cara untuk menyalurkan apa yang mereka pelajari. Dalam cara berpikir guru yang seperti ini, memperlakukan semua siswa dengan sama persis adalah hal yang kontraproduktif (tidak menguntungkan). Perlu untuk menjumpai siswa yang memiliki tingkat kesiapan, minat, dan profil belajar agar bisa memaksimalkan potensi akademik mereka.
Guru pertama membayangkan penerapan strategi pembelajaran berdiferensiasi di lingkungan yang menjunjung tinggi kesetaraan—lingkungan yang memperlakukan semua orang dengan sama—namun rasanya seolah-olah guru ini akan mengubah peraturan permainan tanpa menginformasikannya terlebih dulu kepada para pemain, yang mana dia yakin akan menimbulkan keributan. Guru kedua sadar bahwa sebagian besar siswa mengikuti kelasnya dengan berbekal seperangkat aturan standar yang tertanam kuat di pemikiran mereka (kecuali sebelumnya siswa tersebut diajar oleh guru yang juga menerapkan pembelajaran differensiasi atau sekolah menaruh perhatian khusus pada diferensiasi). Guru ini tidak memiliki niatan untuk mencoba “menyisipkan” diferensiasi ke dalam rutinitas sehari-hari. Dia tidak ingin menerapkan diferensiasi pada para siswanya melainkan dia ingin menerapkannya bersama dengan mereka. Oleh karena itu, sejak hari pertama sekolah, guru ini memperlakukan dan menganggap siswanya sebagai partner dalam meraih kesuksesannya maupun kesuksesan mereka sendiri. Sejak hari pertama sekolah, dia secara konsisten menciptakan visi bersama di kelas dan menyusun proses dan prosedur yang bisa membantu mewujudkan visi tersebut bersama dengan siswa. Dengan kata lain, dia berperan sebagai pemimpin dalam mendirikan kelas berdiferensiasi yang efektif.
Bab ini akan membahas tujuan khusus untuk guru yang ingin membimbing siswa dan menciptakan kelas yang dirancang untuk mendukung keberhasilan siswa menggunakan materi penting, cara-cara khusus yang bisa digunakan guru untuk melibatkan siswanya memahami dan berkontribusi pada kelas berdiferensiasi, dan berbagai percakapan yang memungkinan guru dan siswa untuk mengembangkan tujuan yang sama di kelas. Bab ini juga akan membahas tentang peran guru sebagai seseorang yang akan membantu orang tua siswa dan pendidik lain dalam memahami dan berkontribusi pada diferensiasi.
Baca terjemahan-terjemahan lain dari Buku Leading and Managing A Differentiated Classroom by Carol Ann Tomlinson and Marcia B. Imbeau di sini
Kerangka kerja bersama
Di awal tahun, guru yang ingin membimbing siswanya untuk memahami dan memberikan kontribusi pada kelas berdiferensiasi akan mengerahkan waktunya untuk proses tersebut. Mungkin akan ada beberapa jam pelajaran yang berfokus pada percakapan dan kegiatan yang berhubungan dengan diferensiasi, dan akan ada sejumlah percakapan lain di mana akan terjadi sesi pengambilan keputusan yang lebih singkat.
Pemikiran “kehilangan banyak waktu karena terlibat dengan kurikulum” mungkin memang menyusahkan bagi beberapa guru. Namun penelitian dan pengalaman yang dimiliki guru menunjukkan bahwa siswa dan guru justru akan mendapatkan waktu yang lebih banyak daripada yang mereka kerahkan saat menciptakan visi bersama dan serangkaian rutinitas umum yang berlangsung selama setahun penuh (e.g., Marzano, Marzano, & Pickering, 2003; Stronge, 2002).
Setiap guru harus menentukan berapa banyak waktu yang harus dikerahkan pada topik-topik yang disarankan di bawah ini serta pada percakapan awal dan tindak lanjut. Untuk siswa dari segala usia, penting untuk memperkenalkan ide dan rutinitas serta mereviu percakapan awal secara singkat sepanjang tahun, membantu mengingatkan mereka tentang tujuan dan prosedur yang telah ditetapkan, merenungkan baik-baik efektivitas tujuan dan prosedur, dan merombak tujuan dan prosedur tersebut sesuai kebutuhan.
Terlepas dari tingkatan kelasnya, setidaknya ada enam pertanyaan penting yang perlu dibahas oleh guru dengan siswa untuk menciptakan pemahaman bersama dalam kelas berdiferensiasi. Susunan kata yang digunakan dalam pertanyaan-pertanyaan di bawah ini disesuaikan berdasarkan tingkatan kelasnya, namun substansinya tetap sama.
Pertanyaan-pertanyaan di atas bersifat evolusioner. Dengan kata lain, setiap pertanyaan baru muncul dari diskusi pertanyaan-pertanyaan sebelumnya. Misalnya, pertanyaan kelima tentang keadilan muncul setelah pembahasan empat pertanyaan sebelumnya. Selain evolusioner, pertanyaan-pertanyaan tersebut juga bersifat rekursif; guru perlu mengingatkan siswa tentang diskusi sebelumnya menggunakan semacam logika “jika/maka (if/then)” saat diskusi berlangsung. Misalnya, “Jika kita setuju dengan ide ini, maka apa yang harus dilakukan untuk mencapainya?” Akhirnya, guru perlu meninjau kembali pertanyaan-pertanyaan ini dengan siswa pada situasi penting selama sepanjang tahun untuk mengingatkan mereka, memberikan siswa kesempatan untuk menceritakan pencapaian dan kekhawatiran mereka, dan memungkinkan mereka untuk berkontribusi pada pematangan ide seiring berjalannya tahun.
Uraian berikut mencerminkan penalaran dari pertanyaan-pertanyaan di atas agar bisa membantu guru merenungkan baik-baik apa yang dia ingin siswanya pertimbangkan dan bagaimana cara dia mulai memengaruhi diskusi dan kegiatan untuk bisa melibatkan siswanya dengan ide-ide tersebut.
Siapakah kalian sebagai pelajar?
Boleh dibilang hal terpenting yang dilakukan setiap guru dari kelompok usia mana pun saat awal tahun pelajaran adalah mengutarakan keinginannya untuk mengenal para siswanya. Pesan yang disampaikan harus tulus tentunya agar kepercayaan antara guru dan siswa mulai bisa terjalin. Pesan tersebut juga perlu diikuti dengan tindak lanjut yang konsisten dan terus-menerus, pun harus tercerminkan ke semua hal yang guru lakukan. Jika kepercayaan antara guru dan siswa berhasil terjalin, siswa akan mulai merasa bahwa mereka diterima dan dihargai. Siswa menganggap guru sebagai orang yang bisa dipercaya, dan pembelajaran akan sepadan dengan risiko yang mengikuti.
Di kelas berdiferensiasi, guru memaknai pesan tersebut dengan lebih serius. Pesannya bukan hanya sekadar “Saya ingin mengenal kalian secara personal”, namun menjadi “Mengenal kalian secara personal tentu akan membantu memengaruhi cara saya mengajar kalian”. Implikasinya jelas. “Bagaimana cara saya mengetahui kelebihan, kebutuhan, dan minat kalian agar bisa mengajari kalian dengan baik?”
Tujuan percakapan pertama adalah untuk membantu siswa (1) sadar bahwa guru peduli dengan mereka sebagai manusia dan ingin mengenal mereka, (2) menceritakan sedikit tentang diri mereka, (3) memikirkan baik-baik persamaan dan perbedaan di antara teman sekelas, dan (4) membayangkan apa artinya memiliki kelas yang efektif untuk semua jenis pelajar. Kami akan mengemukakan tiga saran untuk mengembangkan tujuan ini dengan siswa, dan kami mengajak kalian untuk menerapkan salah satu dari pendekatan ini sebagai landasan untuk mengembangkan pendekatan milik kalian sendiri.
Grafik tentang saya. Meminta siswa membuat grafik berisi kelebihan dan kekurangan mereka merupakan pendekatan yang bermanfaat untuk banyak tingakatan kelas. Formatnya bisa bervariasi sesuai usia siswa, namun tujuannya adalah agar siswa dapat menunjukkan jenis materi apa yang mereka kuasai dan bidang apa yang mereka merasa kurang percaya diri. Siswa yang lebih muda mungkin dapat menunjukkan kelebihan dan kelemahan mereka dalam berbagai bidang studi seperti membaca, seni, matematika, menulis, sains, dll. dengan cara mewarnai grafik batang yang guru sediakan. Akan lebih baik jika siswa juga diminta menunjukkan kegiatan-kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan sekolah (misalnya, berteman, mengerjakan sesuatu tepat waktu, membuat gim). Gambar 3.1 adalah contoh dari grafik ini, dan Gambar 3.2 merupakan grafik yang dibuat oleh salah seorang anak kelas 2 yang kemudian memberikan penjelasan tentang grafiknya.
Siswa yang lebih tua mungkin dapat melakukan hal yang sama dan membuat grafik batang atau grafik garis yang berisi keterampilan yang relevan di bagian sumbu horizontalnya (misalnya, perhitungan, pemecahan masalah, pecahan, persamaan, penulisan dalam matematika). Alangkah baiknya jika siswa juga diminta untuk menambahkan dua atau tiga topik tambahan yang tidak berhubungan langsung dengan mata pelajaran (misalnya, hobi atau keterampilan nonakademik) atau yang berhubungan dengan mata pelajaran berbeda (misalnya, menambahkan keterampilan matematika dan olahraga di grafik Bahasa Inggris/Seni Bahasa) ke sumbu horizontal. Sedangkan di sumbu vertikal, siswa harus membuat indikator yang menunjukkan tingkatan kinerja dari yang buruk hingga luar biasa.
*Lihat Gambar 3.1 di sini
Untuk mengenalkan cara ini, guru sebaiknya melengkapi grafiknya sembari siswa mengamatinya. Ini membatu guru mendemonstrasikan tugas secara bijaksana, membantu guru mengenalkan ide-ide yang mungkin penting untuk siswa seiring berjalannya waktu, dan juga membantu siswa mengenal guru mereka lebih baik lagi. Misalnya, guru mungkin lemah di bidang tertentu, bidang di mana guru kurang kompeten, atau bidang yang sebelumnya kemampuan guru tersebut kurang mumpuni atau bidang yang ditakutinya namun sekarang dia sudah kompeten. Sebagai bagian dari proses ini, kami merekomendasikan guru untuk membuat grafik tumpang tindih atau ganda yang menggambarkan pertumbuhan guru dari “awal” (saat guru masih berstatus pelajar) hingga “sekarang”.
Gambar 3.3 menunjukkan contoh grafik yang dibuat oleh guru Seni Bahasa kelas 7 untuk kelas yang dia ajari. Batang yang gelap menunjukkan kemampuannya saat dia masih seorang siswa, dan batang yang lebih terang menunjukkan kemampuannya saat ini di bidang yang sama. Saat dia membuat grafik tersebut, dia bercerita bahwa dia dulu pandai mengeja saat masih SD, namun sekarang dia cenderung kurang pandai karena dia terlalu sering membaca esai-esai yang ditulis oleh anak-anak kelas 7 yang memiliki ejaan bermacam-macam. Demikian juga, dia juga merupakan siswa yang pandai dalam matematika saat masih SD, namun keterampilan dan kepercayaan dirinya hilang saat dia mulai tertinggal dari yang lain di kelas aljabar saat kelas 8 dan guru matematikanya saat itu tidak menyadari hal ini. Pengalaman di kelas aljabar ini berdampak negatif terhadap kinerjanya dalam mata pelajaran matematika hingga dia lulus sekolah. Sebaliknya, dia menjelaskan kepada para siswa bahwa dia memang sudah menyukai kata dan senang bermain dengan kata.
*Lihat Gambar 3.2 di sini
“Saya pandai sekali membaca. Saya pandai menulis dan saya cukup pandai menulis. Saya pandai dan sangat pandai matematika dan menggambar. Saya pandai sekali menari balet karena saya telah menekuninya selama lima tahun. Saya lebih tidak pandai menggambar daripada menari balet. Saya lebih tidak pandai menulis daripada membaca. Saya lebih pandai matematika daripada menulis. Saya lebih tidak pandai menulis daripada matematika. Saya lebih pandai menari balet daripada matematika dan menggambar. Saya pandai sekali membaca walaupun saya belum lama menekuninya selama saya menekuni menari balet.”
Setelah menyelesaikan grafik, siswa harus mempresentasikan beberapa informasi dalam grafik itu bisa kepada seluruh kelas (guru berkesempatan untuk mengobservasi dan mencatat kemampuan, pola bicara, dan minat siswa yang dipresentasikan) atau kepada kelompok kecil yang berisi teman sebaya mereka. Mereka bisa memasang grafik mereka di area kelas, dan siswa yang lebih muda bisa berkeliling kelas dan mencari grafik yang mirip dengan milik mereka. Kemungkinan besar mereka tidak akan menemukan grafik yang mirip dengan milik mereka, dan mereka pasti tidak akan menemukan duplikat yang sama persis. Hal ini mempersiapkan kelas ke tahap diskusi selanjutnya. Siswa yang lebih tua harus melengkapi frasa berikut (secara akurat) sebanyak mungkin: Umumnya, benar bahwa _____. Mereka kemungkinan besar akan memikirkan berbagai cara yang berbeda untuk melengkapi frasa-frasa ini, termasuk
*Lihat Gambar 3.3 di sini
Ada dua hasil pengamatan yang hampir selalu dilakukan oleh siswa di setiap kelas. Keduanya sangat penting untuk diskusi berkelanjutan.
Jika salah satu dari kesimpulan ini muncul, saatnya untuk mengambil langkah selanjutnya dalam diskusi. Jika tidak seorang pun memiliki salah satu dari dua kesimpulan ini, guru dapat langsung mengajukan pertanyaan kepada siswa seperti “Apakah ada yang menyadari bahwa semuanya mengatakan bahwa mereka lebih unggul di beberapa hal tertentu dan lemah di hal lainnya?” Dengan adanya dua hasil observasi ini, guru bisa melanjutkan diskusi dengan mengatakan “Sebagai guru, saya sering merenungkan hal itu. Kalian semua akan unggul dalam beberapa hal tertentu dan merasa kurang percaya diri dalam hal lainnya. Memang begitulah setiap tahunnya. Jika hanya beberapa dari kalian yang pandai dalam berhitung namun lemah dalam pemecahan masalah, dan yang lain justru sebaliknya, apa yang harus saya lakukan? Bagaimana caranya agar saya bisa memutuskan siapa di antara kalian yang harus saya perhatikan?”
Siswa biasanya lebih cepat memahami gambaran tentang diferensiasi daripada guru. Mereka tidak pernah menjawab “Tidak masalah. Jangan hiraukan apa saja yang bisa dan tidak bisa kita lakukan. Cukup kerjakan saja materinya”. Kemungkinan besar mereka akan langsung menyimpulkan bahwa kita (guru) harus membantu mereka mengembangkan berbagai kelebihan mereka dan mengatasi kelemahan mereka. Menarik kesimpulan seperti ini adalah tujuan dari kegiatan ini dan diskusi terkait.
Tentunya ada banyak cara lain untuk melibatkan siswa dan membantu mereka menyadari perbedaan yang mereka miliki sebagai sesama pelajar. Dalam dua kegiatan berikut, tujuan akhirnya sama dengan “Grafik tentang Saya”: menarik kesimpulan bahwa perbedaan siswa tidak dipandang sebelah mata dan kelas akan menjadi lebih baik jika guru memerhatikan perbedaan-berbedaan tersebut saat mengajar. Terlepas dari cara apa yang akan digunakan guru untuk membantu siswa memikirkan mengapa perbedaan mereka penting, ini adalah saat yang tepat untuk membuat kalimat anutan (batasan) dalam kelas sebagai pengingat sepanjang tahun ajaran:
Saya mengajar karena saya percaya bahwa setiap siswa bisa belajar apa pun yang penting. Saat kalian belajar, kalian menjadi jauh lebih kuat. Masing-masing dari kalian memiliki potensi untuk mempelajari hal baru setiap harinya. Jalur yang kalian ambil bisa sama atau mungkin berbeda dengan jalur yang diambil oleh orang yang duduk di sebelah kalian. Itu tidak terlalu penting. Yang terpenting adalah kalian mengambil langkah selanjutnya dan konsisten melanjutkan jalur yang kalian ambil. Tugas saya di sini adalah mendampingi kalian dan memastikan bahwa kalian konsisten belajar dan berkembang di sepanjang jalur itu. Hal yang saya ingin cari tahu bersama dengan kalian selama beberapa hari ke depan—dan sepanjang tahun—adalah bagaimana cara kita bekerja sama untuk menciptakan kelas yang bisa menyokong setiap siswa sesuai jalurnya masing-masing.
Ini merupakan landasan utama diferensiasi, dan penting bagi siswa untuk mulai memahaminya.
Periksa ke dokter. Dalam permainan peran ini, siswa berkolaborasi secara berpasangan. Setiap pasangan terdiri dari siswa yang berperan sebagai orang tua dan siswa yang berperan sebagai seorang anak. Guru akan berperan sebagai dokter. Pesan yang ditulis di kartu pasien harus memaparkan masalah medis yang dialami anak seperti gatal-gatal, sakit perut, tangan yang cedera karena bermain basket, atau sakit kepala yang datang dan pergi. Setiap “anak” harus berlakon sesuai keluhan yang dialami (misalnya, menggaruk-garuk bagian tubuh yang gatal, memegang perut yang sakit, menopang lengannya yang cedera, atau mengusap-usap dahinya) sementara sang “orang tua” menyampaikan keluhan yang dialami sang “anak” kepada sang “dokter”. Untuk dua pasangan terakhir, instruksinya berubah yaitu orang tua akan menjelaskan keluhan anaknya kepada dokter dan kemudian berkata, “Biar anak saya saja yang melanjutkan”. Siswa yang berlakon sebagai anak yang sedang sakit kemudian menyampaikan keluhannya kepada sang dokter. Gambar 3.4 adalah dua contoh intruksi tentang permainan peran.
*Lihat Gambar 3.4 di sini
Pasangan siswa yang harus berlakon seolah-olah sedang mengidap flu biasa. Dokter, terlepas dari penyakit aslinya, sering kali harus mendengarkan keluhan pasien secara seksama dan merespon, “Saya turut prihatin. Ini dia beberapa obat flu untuk Anda. Minum dan lihatlah apakah obat ini manjur”. Pada saat pasangan terakhir menemui dokter, para siswa merasa lega setelah mengetahui bahwa ada seseorang yang gejalanya cocok dengan obatnya. Guru mungkin akan bertanya, “Berapa kali kalian dan orang tua kalian melakukan konsultasi dengan dokter itu sebelum akhirnya menyadari bahwa ternyata sang dokter kurang kompeten dan kalian tidak ingin berkonsultasi lagi ke sana?”
Pada saat tertentu, ada baiknya juga untuk bertanya, “Menurut kalian mengapa orang dewasa selalu mewakilkan anak mereka berbicara? Pada akhirnya, saat siswa berhasil mewakilkan diri mereka sendiri, alih-alih mengandalkan orang tua mereka untuk bicara mewakili mereka, apakah sang anak menjelaskan keluhan mereka dengan baik yang bisa membuat kalian mengerti masalah yang sedang dialami sang anak?” Ini bisa membantu kita menyadari bahwa siswa sering kali lebih memahami kebutuhan mereka sendiri (atau bahkan lebih baik dari orang dewasa) dan siswa seharusnya bisa bebas mengutarakan saran atau pendapat mereka untuk membuat kelas menjadi lebih baik lagi.
Yang dibutuhkan siswa untuk memahami maksud dari permainan peran ini adalah agar guru bertanya, “Mengapa kita melakukan ini? Apa hubungannya permainan peran ini dengan sekolah?” Jawaban siswa biasanya adalah karena jika guru melakukan hal yang sama persis kepada siswanya tanpa memerhatikan kebutuhan mereka masing-masing, maka akan sama tidak efektifnya dengan dokter yang meresepkan obat yang sama ke setiap pasiennya tanpa memerhatikan gejala atau keluhan pasien. Ini sekali lagi mendorong guru untuk berkata, “Saya rasa guru mirip dengan dokter karena mereka harus memahami berbagai kebutuhan siswanya dan menetukan “resep” yang diperlukan untuk membantu siswa tertentu agar berkembang dengan baik. Kalian setuju?”
Satu (standar) untuk semua? Kegiatan ketiga yang bisa membantu siswa mulai merenungkan baik-baik kelas yang bisa memenuhi kebutuhan mereka yang bervariasi dimulai dengan cara guru meminta dua orang siswa mengenakan jaket yang ukurannya tidak sesuai dengan mereka. Guru memilih dua orang siswa yang memiliki tinggi dan perawakan yang bertolak belakang satu sama lain, namun sebelumnya guru harus memastikan bahwa kedua siswa tersebut bersedia untuk maju ke depan kelas (atau bersedia menjadi pusat perhatian). Siswa yang perawakannya lebih kecil diminta mengenakan jaket yang ukurannya jauh lebih besar darinya. Setelah siswa sudah puas cekikikan, siswa yang perawakannya lebih besar diminta mengenakan jaket yang ukurannya jauh lebih kecil darinya.
Kedua siswa ini kemudian mengutarakan perasaan mereka saat mencoba mengenakan jaket yang tidak sesuai dengan ukuran badan mereka. Jawabannya terdengar lucu dan sedikit konyol. Guru harus memberikan sedikit waktu untuk siswa agar mereka bisa memikirkan jawabannya terlebih dahulu sebelum menanyakan bagaimana perasaan mereka jika diminta mengenakan jaket yang tadi mereka kenakan sepanjang hari. Siswa biasanya mulai menyadari masalah yang berpotensi menjadi agak serius (misalnya, “Saya akan kesulitan saat makan karena lengan jaket yang terlalu besar ini bisa mengenai makanan saya” atau “Saya rasa saya tidak akan bisa menulis dengan benar karena akan sangat susah untuk menggerakkan lengan saya”).
Terakhir, guru harus meminta siswa mengutarakan perasaannya jika seandainya mereka harus mengenakan jaket tersebut sepanjang tahun. Umumnya, siswa bisa mengerti bahwa yang awalnya mereka pikir terlihat konyol, sepele, atau sedikit tidak nyaman bisa menjadi hambatan serius untuk melakukan apa yang mereka sukai (misalnya, “Saya rasa saya akan mulai menganggap diri saya orang yang jorok” atau “Saya ragu teman-teman lainnya bersedia bekerja sama dengan saya di sekolah karena saya tidak bisa berkontribusi banyak ke proyek kelompok dikarenakan lengan saya yang susah digerakkan ini).
Sekali lagi, umumnya penting untuk bertanya ke seluruh penghuni kelas, “Menurut kalian mengapa kalian diminta melakukan ini? Apa hubungannya dengan sekolah atau kelas ini?” Siswa akan sering membicarakan tentang betapa tidak nyamannya jika kegiatan atau tugas di kelas tidak sesuai “kapasitas” mereka dan akan sangat sulit untuk melakukannya. Mereka terkadang juga menceritakan pengalaman pribadi mereka di sekolah saat pekerjaan mereka tampak “terlalu sulit” atau “terlalu gampang” untuk mereka, dan mereka umumnya cukup mampu untuk menjelaskan dampak jangka pendek dan jangka panjang dari pengalaman-pengalaman tersebut.
Seperti halnya dua contoh sebelumnya, kesimpulan dari kegiatan ini adalah “saat kalian memerhatikan sekitar, jelas tidak semua orang mengenakan pakaian dengan ukuran yang sama. Pengalaman saya sebagai guru menunjukkan bahwa memberikan tugas yang sama persis kepada semua siswa tidak selalu cocok dengan semua siswa di kelas. Menurut Anda apa yang harus dilakukan seorang guru untuk mengatasi isu bahwa tidak semua siswa memiliki kebutuhan yang sama di waktu tertentu?” Dengan pemikiran ini, siswa sudah siap untuk pindah ke langkah berikutnya dalam diskusi.
Dengan perbedaan-perbedaan yang ada, bagaimana saya harus mengajari anda?
Terlepas dari guru memutuskan untuk menerapkan salah satu dari tiga pendekatan di atas atau membuat pendekatan lain, penting bagi siswa untuk menyadari bahwa manusia tidak terlahir sama layaknya satu set koper. Selain bersifat wajar, perbedaan setiap manusia juga berharga. Jika seandainya kita semua sama satu sama lain, maka dunia ini akan menjadi kurang menarik dan orang-orang akan jauh lebih tidak siap untuk menangani isu dan masalah yang ada dalam kehidupan. Kreativitas kita juga akan terbatas.
Pada poin ini, guru harus mengajukan beberapa pertanyaan spesifik kepada siswanya untuk dipertimbangkan, contohnya
Saat seisi kelas membahas skenario tertentu, siswa bersama-sama menyebutkan cara tertentu yang lebih fleksibel agar akan lebih banyak teman sekelas mereka yang kebutuhannya terpenuhi. Contohnya termasuk
Inti dari segmen percakapan bersama ini adalah agar siswa bisa mulai membayangkan dan mengekspresikan beberapa cara yang bisa membantu mereka belajar lebih baik lagi jika kelas menyediakan lebih banyak pilihan. Semakin banyak ide yang diberikan siswa maka akan semakin bagus, namun agar lebih efektif guru juga bisa ikut serta menuangkan idenya untuk dipertimbangkan.
Berikan jeda sesekali untuk mengajukan pertanyaan seperti “Bagaimana pendapat kalian tentang ide-ide ini? Apa sisi positifnya, dan apa kekhawatiran kalian?” Tidak perlu membahas masalah tertentu di poin ini, namun akan lebih bijak jika kita menuliskannya untuk diskusi di lain waktu saat percakapan berlanjut.
Jika kelas kita bisa berjalan efektif untuk semua penghuninya, akan seperti apa jadinya?
Pada tahap ini, siswa perlu arahan guru untuk beralih dari teori ke praktik nyata. Dengan kata lain, inilah saatnya membicarakan tentang (1) seperti apa wujud kelasnya dan (2) peran apa yang harus dimainkan setiap orang (dan juga apa saja yang tidak boleh dilakukan) agar kelas ini terjuwud. Sekali lagi, penggunaan bahasa dan durasi waktu yang tepat akan bervariasi sesuai dengan usia siswa, tujuan guru, dan konteks kelas. Sering kali tujuannya adalah untuk menetapkan ekspektasi awal terhadap keberlangsungan kelas dan menetapkan tanggung jawab bersama untuk kesuksesannya.
Sejumlah elemen ini akan dibahas secara lebih rinci di Bagian II buku ini nanti. Namun, di sini kami hanya akan mengusulkan beberapa ide atau basis untuk mewujudkan kelas yang fleksibel. Tujuannya adalah untuk membantu siswa merenungkan dan memberikan kontribusi ke elemen-elemen dasar yang berguna di kelas fleksibel dan membantu siswa belajar sebanyak dan seefisien mungkin.
Ini termasuk kesempatan bagi setiap siswa untuk
Kelas yang menawarkan kesempatan-kesempatan di atas (bila perlu) menunjukkan situasi
Jika ada elemen tertentu yang menurut guru harus diterapkan di awal tahun ajaran, maka penting untuk memastikan terlebih dahulu bahwa elemen-elemen tersebut merupakan bagian dari diskusi. Jika siswa memerlihatkan kapabilitas yang dirasa mampu mereka kendalikan di awal tahun, maka membuat daftar yang bisa fleksibel diubah atau ditambahkan merupakan ide yang bagus (mungkin bisa dibuat di atas kertas grafik (kertas bermotif kotak-kotak) jadi siswa bisa memantau ide-ide yang ditulis dan memeriksanya kembali jika butuh)), yang akan terus bertambah seiring berjalannya tahun karena siswa akan terus mendapatkan dan menambahkan ide dan rutinitas baru. Perlu diperhatikan bahwa saat semua orang mulai menjalankan ide-ide tersebut, maka nanti kita harus menyempurnakan ide-ide tersebut.
Setelah siswa dan guru mengusulkan seperangkat elemen dasar yang diperlukan untuk mewujudkan kelas beriferensiasi, fleksibel, dan responsif, inilah saatnya untuk meninjau konsekuensi yang mungkin ditimbulkan oleh elemen-elemen tersebut terhadap semua yang terlibat. Guru mungkin bisa memulainya dengan mengatakan, “Coba amatilah ide-ide yang telah kita kemukakan dan bahas mengenai apa saja yang perlu dilakukan atau dihindari agar ide-ide ini bisa berjalan dengan baik. Ini bisa membantu kita untuk memulai tahun ajaran dengan lancar”.
Pertama, sajikan elemen-elemen penting yang diperlukan untuk menerapkan diferensiasi dan menjalankan kelas yang fleksibel, serta katakan bahwa di sini mungkin akan banyak membutuhkan pehamahan dan kerja sama siswa. Gambar 3.5 menunjukkan beberapa elemen dan konsekuensi baik untuk guru maupun siswa.
Sementara rinciannya akan bervariasi antar kelas, diskusi yang dipicu oleh kegiatan ini akan memberikan pemahaman kepada siswa tentang alasan mengapa mereka diminta melakukan hal-hal tertentu bukan hal lainnya dan bekerja dengan cara tertentu. Akan ada lebih banyak siswa yang bekerja secara lebih efektif dengan berlandaskan pemikiran atau visi bersama daripada seperangkat aturan abstrak statis yang biasanya dipajang di dinding.
Bagaimana cara saya mengetahui lebih dalam tentang titik awal, minat, dan preferensi belajar terbaik anda?
Jelas diferensiasi merujuk pada penerimaan kenyataan bahwa pembelajaran siswa dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk pengalaman sebelumnya, budaya, ekonomi, bahasa, minat, preferensi belajar, dan sistem pendukung siswa. Untuk mengajar siswa dengan baik, seorang guru harus mengenal siswanya dengan baik. Ini memang tugas yang berat karena kenyataannya tidak ada guru yang bisa mengenal para siswanya secara mendalam. Namun, bukan berarti ini mustahil. Guru bisa mengenal siswanya secara sistematis setidaknya tentang hal-hal yang ada hubungannya dengan pembelajaran diferensiasi, personalisasi, dan responsif.
Seiring berjalannya, seorang guru harus memiliki keinginan untuk mengetahui beberapa hal umum tentang siswanya, seperti seberapa baik keterampilan membaca mereka, apa yang suka mereka lakukan di waktu luang mereka, cita-cita mereka, bagaimana hubungan mereka dengan teman sebayanya, bagaimana mereka melihat diri mereka sendiri sebagai pelajar, bagaimana mereka belajar dengan baik, dan bagaimana budaya mereka memengaruhi pembelajaran mereka. Saat aspek yang berkaitan dengan kurikulum terungkap, guru harus mencari tahu apakah siswanya sudah dibekali dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan, apa yang mereka pahami dan apa miskonsepsi yang mereka miliki, sejauh mana mereka menguasai atau melampaui ekspektasi pada waktu tertentu, pendekatan pembelajaran mana yang efektif untuk mereka dan mana yang tidak, dan apakah mereka dapat mengaitkan ide-ide utama dengan kehidupan dan pengalaman pribadi mereka.
*Lihat Gambar 3.5 di sini
Dalam kelas berdiferensiasi yang berjalan dengan efektif, penilaian berkelanjutan memengaruhi setiap keputusan penting yang dibuat guru mengenai pembelajaran siswa. Di awal tahun, siswa harus tahu bahwa guru mereka juga sama-sama seorang pelajar yang tekun mempelajari dua hal—materi yang diajarkannya kepada siswa dan mempelajari siswa itu sendiri. Hal ini harus tersampaikan dengan jelas dari hari pertama sekolah dan terbukti setiap harinya. Di awal percakapan tentang mewujudkan kelas yang bisa mendukung kesuksesan setiap siswa, siswa perlu mendengar hal-hal berikut:
Tergantung pada usia siswa dan jenis kelas, siswa mungkin diminta untuk mengungkapkan apa yang mereka harap diketahui oleh guru mereka tentang diri mereka, pendapat mereka tentang guru yang menggunakan informasi tentang diri mereka untuk dijadikan acuan untuk mengajar mereka dengan lebih baik lagi, atau cara guru agar bisa mengenal mereka lebih baik dan lebih cepat. Elemen percakapan ini bertujuan untuk memberi tahu siswa bahwa mereka akan ikut serta dalam menciptakan peran guru di kelas: untuk terus mengenal siswa agar guru bisa menjadi guru yang lebih efektif bagi masing-masing siswa. Hal ini juga memberi tahu siswa bahwa asesmen tentang kelebihan, kebutuhan, minat mereka akan segera dimulai. Siswa juga perlu tahu bahwa pengajaran dan pembelajaran bisa berjalan dengan lancar jika semuanya tahu apa target pembelajarannya, guru dan siswa tertentu tahu di mana posisi siswa dalam target tersebut di waktu tertentu, dan keduanya tahu kapan harus memanfaatkan informasi itu untuk berkembang.
Jika kita menerapkan kelas berdiferensiasi, bisakah kelas ini berlaku adil?
Sementara empat pertanyaan sebelumnya umumnya harus diajukan kepada siswa saat beberapa hari pertama sekolah, pertanyaan tentang “keadilan” ini sebaiknya diajukan setelah kelas menerapkan strategi diferensiasi dan setelah rutinitas penunjang diferensiasi diterapkan. Dengan kata lain, percakapan pertama tentang keadilan harus terjadi setelah siswa memiliki pengalaman yang cukup di kelas berdiferensiasi agar mereka bisa memahami alasan penerapannya dan merasakan sendiri cara bekerja kelas ini untuk individu dan kelompok. Tertantung pada situasi tertentu, bisa diartikan saat akhir bulan pertama sekolah—atau sedikit lebih lama dari itu.
Guru mungkin bisa memulai percakapan dengan meninjau beberapa tujuan, prosedur, rutinitas yang sebelumnya sudah dibahas dan sedang diterapkan. Guru mungkin lanjut mengatakan, “Ide-ide kalian sangat berguna bagi saya saat pertama kali mulai menerapkan kelas berdiferensiasi. Saya punya pertanyaan tambahan yang ingin saya ajukan pada kalian hari ini. Sering kali orang berkata bahwa kelas akan dianggap adil saat semua penghuninya melakukan hal yang sama persis—atau saat guru memastikan bahwa semua siswa mendapatkan tugas, materi, dan alokasi waktu bekerja yang sama persis. Seperti yang sudah disepakati, melakukan hal yang sama dengan yang lain bukan selalu langkah terbaik. Apakah hal ini mengartikan bahwa kelas kita tidak adil? Menurut kalian apa yang dimaksud dengan “adil” dalam kelas berdiferensiasi ini?
Tanggapan siswa akan bervariasi karena berbagai alasan. Namun, di awal tahun, sering kali siswa di kelas berdiferensiasi mengutarakan bahwa kelas dianggap adil jika guru tampak menyukai semua siswanya, atau jika guru tampak tidak memiliki siswa kesayangan. Terkadang juga, kelas dianggap adil oleh siswa jika guru memberikan perhatian yang sama persis kepada semua siswanya.
Seiring berjalannya waktu, jika kelas berdiferensiasi berfungsi sebagaimana mestinya, siswa umumnya akan menyimpulkan bahwa kelas ini adil jika kebutuhan semua siswa yang diperlukan terpenuhi. Peralihan makna dari “adil = perlakuan yang sama” ke “adil = pemerataan kesempatan untuk berkembang dan sukses” merupakan hal yang penting karena itu merupakan sifat dan tujuan diferensiasi. Selain itu, jika siswa merasa sulit untuk beralih dari definisi “adil” ke perspektif baru yang dipengaruhi oleh diferensiasi, penting bagi guru untuk menyadari hal ini dan memahami hambatan apa yang menghalangi kelas untuk berlaku adil terhadap semua penghuninya. Bagian percakapan ini layak untuk diteliti lebih dalam lagi di awal tahun ajaran dan ditinjau kembali seiring perkembangan tahun.
Apa arti kesuksesan dalam kelas diferensiasi ini?
Salah satu konsekuensi yang lahir dari pernyataan “bagaimana seharusnya kita bersekolah” adalah arti kesuksesan biasanya ditetapkan dalam bentuk nilai dalam buku rapor. Definisi ini tidak hanya bersifat sempit sekali namun juga membatasi. Ada siswa yang stabil mendapatkan nilai A dalam rapor mereka dengan sedikit usaha dan tanpa adanya bukti perkembangan mereka, dan ada siswa yang mendapatkan nilai rendah namun tetap berhak untuk dihibur karena mereka sudah menunjukkan komitmen mereka untuk belajar dan sudah berkembang secara luar biasa meskipun gagal mencapai target yang ditentukan.
Kita akan membahas tentang penilaian dalam kelas berdiferensiasi secara rinci dalam buku ini nanti. Namun, pada saat tertentu di awal tahun pelajaran, guru sebaiknya melibatkan siswa untuk merenungkan baik-baik arti sukses dalam kehidupan—dan di kelas.
Ini bisa dilakukan dengan cara menyajikan biografi singkat dua tokoh terkenal kepada siswa, toko pertama selalu mendapat banyak perhatian namun memiliki sedikit kontribusi besar untuk sesuatu yang bermanfaat dan satunya lagi mencurahkan lebih banyak perhatiannya untuk fokus membawa perubahan positif daripada menjadi sorotan. Ini juga bisa dilakukan dengan meminta siswa membandingkan dua karakter dalam buku atau film, karakter pertama menjalani kehidupan yang lebih berat daripada karakter kedua namun terus berusaha mencapai tujuannya terlepas dari segala kesulitannya. Ini juga bisa dilakukan dengan cara mengambil contoh langsung dari dua siswa (entah siapa, tidak teridentifikasi)—siswa pertama sangat dibangga-banggakan oleh guru walaupun faktanya siswa kedualah yang menerima lebih banyak penghargaan. Ini mungkin bisa dicapai dengan menceritakan pengalaman pribadi siswa tentang saat-saat di mana mereka bangga dengan diri mereka sendiri dan saat-saat lainnya di mana mereka sadar bahwa tidak banyak yang bisa dibanggakan dari mereka terlepas dari pujian yang diberikan orang lain. Inti dari diskusi ini adalah untuk menunjukkan bahwa penghargaan—termasuk nilai—tidak bisa menyingkap cerita dibaliknya.
Ini juga saatnya meyakinkan siswa bahwa sukses terdiri dari beberapa bagian. Salah satunya adalah seberapa keras usaha seseorang untuk berkembang. Yang kedua adalah seberapa besar perkembangan seseorang itu. Yang ketiga adalah apakah seseorang itu mencapai atau melampaui target yang menuntut perkembangannya. Guru harus membantu siswa untuk mulai mengembangkan dan mempertimbangkan bahasa yang mencerminkan ketiga indikator sukses ini. Siswa juga harus diyakinkan bahwa guru akan berusaha mencari sifat-sifat seperti di bawah ini dalam dirinya dan akan meminta siswa untuk ikut mencari sifat-sifat ini dalam diri mereka.
Dua prinsip yang bermaanfaat bagi pelajar dan pembelajaran adalah (1) bekerja secara tekun dan cerdas mampu membuat siswa berkembang (2) perkembangan ini pada akhirnya memungkinkan para individu untuk mencapai dan melampaui banyak target. Ini adalah inti sari dari pola pikir pertumbuhan—sesuatu yang mendasari diferensiasi—dan ini penting untuk kesuksesan. Kita akan mendapatkan hasil jangka panjang yang terbaik saat kita bersaing dengan diri sendiri daripada bersaing dengan orang lain.
Beri tahu siswa bahwa mereka akan sering mendengar guru menanyakan, “Apakah ini yang terbaik yang bisa kalian lakukan—yang terbaik yang bisa kalian kerahkan untuk tugas ini?” Beri tahu mereka bahwa guru berharap mereka akan turut senang dengan setiap perkembangan yang ditunjukkan semua siswa di kelas.
Tidak satu pun dari enam pertanyaan yang dibahas di bab ini “tertangani” hanya dengan sebuah percakapan tunggal. Guru yang membimbing siswa untuk mengembangkan visi kelas bersama yang bertujuan memaksimalkan perkembangan setiap siswa akan membantu siswa untuk terus menggali pertanyaan-pertanyaan tersebut dan relevansinya sepanjang tahun. Percakapan berikutnya bisa berdurasi pendek atau panjang, secara individu atau berkelompok, serta akan sangat diperlukan agar kelas bisa “berkembang” seiring berjalannya tahun.
Guru sebagai pembimbing orang tua siswa dalam memahami diferensiasi
Setidaknya ada tiga poin penting tentang guru yang secara efektif berkolaborasi dengan orang tua siswa untuk membantu mereka memahami dan memberikan kontribusi pada kelas yang menitikberatkan pada kesuksesan setiap individu.
Pertama, penting bagi guru untuk mengetahui peran penting apa yang bisa dimainkan orang tua untuk membantunya mengenal siswa lebih baik. Orang tua pasti lebih memahami anak-anaknya sendiri secara mendalam daripada guru. Di sisi lain, guru (setidaknya setelah beberapa tahun mengajar di kelas) memiliki informasi yang jauh lebih luas tentang siswa pada saat usia tertentu dan mata pelajaran tertentu daripada orang tua. Guru yang bijak mengajak orang tua untuk menyumbangkan pengetahuan mereka yang mendalam dan sebagai gantinya guru akan memberikan orang tua siswa perspektif tentang anak-anak mereka yang berasal dari perkembangan masa kanak-kanak siswa. Akan lebih baik untuk secara proaktif menjalin hubungan yang saling menguntungkan daripada membiarkan hubungan yang tidak menyenangkan tumbuh di antara guru dan orang tua siswa. Guru di kelas berdiferensiasi hanya membutuhkan bantuan untuk mengenal siswanya lebih baik, dan orang tua siswa merupakan sumber informasi yang paling tepat.
Kedua, penting bagi guru untuk mengetahui peranan latar belakang budaya siswa dalam memengaruhi tanggapan orang tua untuk sekolah, terutama jika orang tua siswa berasal dari budaya minoritas. Misalnya, orang tua dari beberapa kelompok budaya mungkin merasa tidak nyaman jika mereka mengira bahwa mereka diminta untuk mengintruksikan guru untuk melakukan tugasnya; mereka menganggap ini sebagai perbuatan yang tidak menghormati kompetensi guru. Orang tua yang berasal dari budaya yang menjunjung tinggi perspektif kolektivisme (kebalikan dari individualisme) mungkin akan merasa tidak nyaman jika anak mereka diistimewakan dari siswa lainnya karena budaya mereka menekankan kolektivisme di atas individualisme. Dengan alasan yang sama, orang tua yang berasal dari budaya kolektivisme mungkin akan lebih tertarik mendengar tentang perilaku dan kontribusi anak mereka terhadap kelompok daripada tentang nilai dan skor ujian (Rothstein-Fisch & Trumbull, 2008). Juga sangat penting untuk mengetahui bahwa orang tua dari semua latar belakang peduli dengan anak-anak mereka dan ingin mendukung kesuksesan anak-anak mereka. Orang tua yang tidak hadir dalam pertemuan orang tua siswa mungkin disebabkan oleh kurangnya transportasi, tempat penitipan anak, kepercayaan diri untuk berbicara Bahasa Inggris daripada masalah pertentangan dengan sekolah. Guru yang sadar akan peranan budaya meluangkan waktu untuk memahami beragam budaya siswa mereka dan memanfaatkan informasi ini untuk menjalin hubungan yang efektif dengan para siswa dan orang tua mereka.
Ketiga, hanya akan ada sedikit orang tua yang akan memperdebatkan tujuan mendasar diferensiasi jika tujuan tersebut diungkapkan dengan jelas dan relevan dengan keinginan dan kekhawatiran mereka. Pesan mendasar tentang diferensiasi dari guru kepada orang tua siswa harus berbunyi
Ada beberapa orang tua yang akan menjawab, “Saya tidak ingin Anda mengenal anak saya, dan saya tidak ingin Anda membantu anak saya belajar sebanyak mungkin”. Filosofi dan penerapan diferensiasi memiliki tujuan yang sama dengan apa yang kebanyakan orang tua inginkan untuk anak-anak mereka—kelas di mana siswa dikenal dan dihargai secara individual dan di mana terdapat sistem pendukung yang andal untuk mengembangkan kelebihan siswa, membantu menopang atau mengatasi kekurangan siswa, dan memaksimalkan perkembangan akademik selama siswa menjadi bagian dari kelas.
Guru bersama-sama dengan orang tua siswa bisa memperkenalkan diferensiasi kepada siswa saat back-to-school night (acara di mana siswa menyambut tahun ajaran atau semester baru dengan membeli perlengkapan sekolah, menentukan terget untuk tahun ini, dll.). Seiring berjalannya tahun, guru harus menggunakan kesempatan ini untuk menyampaikan dengan jelas dan tanpa embel-embel pendidikan bahwa mereka (1) berusaha keras menetapkan target yang jelas untuk kelas mereka, (2) terus-menerus memonitor kemajuan siswa sehubungan dengan target itu, (2) memberikan umpan balik yang jelas kepada siswa untuk membantu mereka berkembang, dan (4) memanfaatkan informasi tentang siswa dan perkembangannya untuk membantu siswa berkembang sebaik dan secepat mungkin. Dalam setiap kesempatan, guru harus mengajak orang tua siswa untuk saling berbagi informasi yang bisa membantu guru melaksanakan tugasnya dengan lebih baik.
Pastikan bahwa jangan menyangkal atau menutupi kenyataan yang ada. Dengan kata lain, tepati apa yang kita janjikan. Jika siswa kesulitan membaca atau menulis di kelas 10, lakukan apa yang diperlukan untuk mendukung perkembangan siswa di bidang itu. Jika ada siswa kelas 3 yang mampu menguasai pelajaran matematika kelas 6, lakukan juga apa yang diperlukan untuk membantu mereka mengembangkan keterampilan ini—walaupun itu artinya Anda harus siap mencari kolaborator atau mempelajari matematika lebih dalam. Jika kita ingin orang tua siswa percaya pada kita, maka kita harus mendapatkan kepercayaan mereka.
Guru sebagai pembimbing rekannya dalam memahami diferensiasi
Guru yang menerapkan diferensiasi berkesempatan membimbing orang lain, termasuk guru-guru lain dan kepala sekolah, serta siswa dan orang tua siswa. Kesempatan ini bisa menguntungkan baik guru pembimbing diferensiasi ini maupun rekannya. Guru dikritik karena terlibat dalam “praktik pribadi”—karena berdiri sendiri, karena tidak membagikan pengetahuan mereka pada guru lain, dan karena gagal belajar dari guru lain. Guru yang membagikan pengetahuan dan pekerjaan mereka melalui diferensiasi berhati-hati untuk tidak mengungkapkan fakta bahwa mereka adalah profesional yang terlatih atau bahwa mereka menguasai pembelajaran tentang diferensiasi. Sebaliknya, pesan yang mereka sampaikan adalah bahwa mereka tertarik untuk saling bertukar pikiran dengan rekannya yang bisa membantu mereka berkembang dalam pekerjaan mereka. Saat guru membimbing rekannya untuk memahami dan berkontribusi pada diferensiasi, peluang dan manfaatnya luar biasa sekali. Perhatikan hal-hal berikut:
Jika sekolah mencerminkan tempat yang sempurna, maka setiap kepala sekolah akan mendukung kelas yang bisa mengatasi berbagai kebutuhan setiap siswanya. Sayangnya, sekolah tidak mencerminkan (juga bukan) tempat yang sempurna. Pemahaman dan gambaran kepala sekolah tentang diferensiasi sama terbatasnya dengan pendidik lain, dan banyak kepala sekolah (dan administrator sekolah lainnya) merasa sulit untuk mengimbangi atau mengikuti perkembangan pedagogi modern. Bahkan kepala sekolah yang memiliki pemahaman mendasar tentang diferensiasi dan menyadari keharusan untuk memenuhi berbagai kebutuhan belajar siswa mungkin tidak memiliki pemahaman yang cukup mendalam dan pengalaman yang diperlukan untuk memberikan bimbingan yang efektif pada guru.
Guru yang bersedia untuk membimbing kepala sekolah, pengawas, atau administrator sekolah lainnya bisa memberikan manfaat bukan hanya untuk siswa namun juga rekan yang terpengaruh dengan bimbingannya. Perhatikan wawasan-wawasan berikut yang mungkin berasal dari percakapan atau kunjungan ke kelas yang menerapkan pembelajaran berdiferensiasi—wawasan yang bisa mengoreksi kesalahpahaman umum yang dimiliki beberapa administrator dan pengawas sekolah.
Dengan mengajak kepala sekolah dan administrator lain untuk mengobservasi dan membahas diferensiasi, guru pembimbing diferensiasi kemungkinan besar akan mendapatkan lebih banyak dukungan untuk pekerjaannya seraya memperluas kapasitas administrator untuk mendukung pekerjaan guru lainnya. Selain itu, tentu saja pertanyaan dan wawasan yang berasal dari seorang pendidik yang pandangannya tentang kelas ini agak berbeda dengan pandangan guru bisa juga melonggarkan pemikiran guru tentang diferensiasi.
Michael Fullan mengingatkan kita bahwa pemimpin yang tangguh menantang kita untuk menemukan solusi atas tantangan yang tidak mudah dijawab (2001a). Tentu saja mempersiapkan populasi siswa yang semakin beragam untuk hidup dengan percaya diri di dunia yang semakin kompleks ini merupakan tantangan yang dimaksud. Guru yang menerapkan diferensiasi hidup beriringan dengan tantangan itu, dan dia melibatkan siswa, rekan, dan atasannya dalam menghadapi tantangan itu, mengajukan pertanyaan yang membuat tidak nyaman yang berhubungan dengan tantangan itu, dan mengaitkan banyak perspektif untuk mencari solusi yang lebih baik. Semuanya mendapatkan manfaatnya.
(Bagus Priambodo/Sumber terjemahan: Chapter 3– Leading and Managing A Differentiated Classroom – The Invitation to Be Part of a Vision: Talking with Students, Parents and Other Educators About Differentiation by Carol Ann Tomlinson and Marcia B. Imbeau/Foto atau ilustrasi dipenuhi dari Google Image)